Burung-burung cendrawasih merupakan anggota famili Paradisaeidae dari ordo Passeriformes. Mereka ditemukan di Indonesia timur, pulau-pulau selat Torres, Papua Nugini, dan Australia timur. Burung anggota keluarga ini dikenal karena bulu burung jantan pada banyak jenisnya, terutama bulu yang sangat memanjang dan rumit yang tumbuh dari paruh, sayap atau kepalanya. Ukuran burung cendrawasih mulai dari Cendrawasih Raja pada 50 gram dan 15 cm hingga Cendrawasih Paruh-sabit Hitam pada 110 cm dan Cendrawasih Manukod Jambul-bergulung pada 430 gram.
Burung cendrawasih yang paling terkenal adalah anggota genus Paradisaea, termasuk spesies tipenya, cendrawasih kuning besar, Paradisaea apoda. Jenis ini dideskripsikan dari spesimen yang dibawa ke Eropa dari ekpedisi dagang. Spesimen ini disiapkan oleh pedagang pribumi dengan membuang sayap dan kakinya agar dapat dijadikan hiasan. Hal ini tidak diketahui oleh para penjelajah dan menimbulkan kepercayaan bahwa burung ini tidak pernah mendarat namun tetap berada di udara karena bulu-bulunya. Inilah asal mula nama bird of paradise ('burung surga' oleh orang Inggris) dan nama jenis apoda - yang berarti 'tak berkaki'.
Banyak jenis mempunyai ritual kawin yang rumit, dengan sistem kawin jenis-jenis Paradisaea adalah burung-burung jantan berkumpul untuk bersaing memperlihatkan keelokannya pada burung betina agar dapat kawin. Sementara jenis lain seperti jenis-jenis Cicinnurus dan Parotia memiliki tari perkawinan yang beraturan. Burung jantan pada jenis yang dimorfik seksual bersifat poligami. Banyak burung hibrida yang dideskripsikan sebagai jenis baru, dan beberapa spesies diragukan kevalidannya.
Jumlah telurnya agak kurang pasti. Pada jenis besar, mungkin hampir selalu satu telur. Jenis kecil dapat menghasilkan sebanyak 2-3 telur (Mackay 1990).
Seperti yang sudah di singgung sebelumnya, Cendrawasih tidak bisa di pisahkan dari papua. Masyarakat di daerah itu sering memakai bulu-bulu burung ini untuk menjadi penghias. Entah itu pakaian atau digunakan saat acara-acara yang berbau adat. Hal yang seperti ini tentu menempatkan Cendrawasih sebagai burung buruan.
Belum lagi penggunaan bulunya untuk topi trendi yang biasa digunakan oleh wanita-wanita berdarah ningrat di Eropa. Akibatnya, terjadi kerusakan habitat Cendrawasih dan penurunan jumlah secara signifikan.
Sanksi dan hukuman yang tegas memang harus di tegakkan dengan sungguh-sungguh bagi mereka yang masih memanfaatkan Cendrawasih secara ilegal. Sayangnya, kesadaran manusia untuk menjaga lingkungan, terutama habitat Cendrawasih memang masih sangat rendah. Jika ada satu spesies atau hewan yang terancam kepunahan, orang hanya menganggap itu masalah pemerintah atau daerah tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar